Untuk apakah kiranya rentang usia bila bukan untuk kemuliaan?
Berita kedatangan Khairul Anam di tanah kelahirannya dalam nuansa
kemenangan Khaibar disambut oleh seorang wanita mulia dengan sarat
harapan. Ingin menyatakan ketundukannya pada Rabbnya, ingin berdamping
hidup dengan Rasul-Nya…
Gema kemenangan pasukan kaum muslimin setelah merebut Khaibar terasa
di Madinah. Tak selang berapa lama, pada bulan Dzulqa’dah tahun ketujuh
setelah hijrah, Rasulullah r disertai para shahabat bersiap untuk
menunaikan umrah qadha yang sempat tertunda setahun lamanya dengan
adanya perjanjian Hudaibiyah. Kaum muslimin bermaksud menetap di Makkah, negeri yang mereka rindukan, selama tiga hari.
Berangkatlah Rasulullah r ke negeri Makkah. Sementara di sana, ada
seorang wanita mulia yang hendak menyongsong turunnya kebaikan dari sisi
Rabbnya.
Wanita itu bernama Maimunah bintu Al-Harits bin Hazn bin Jabir bin
Al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin ‘Amir bin Sha’sha’ah bin
Mu’awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin ‘Ikrimah bin Hafshah bin
Qais Ailan bin Mudlar Al-Hilaliyah x. Ibunya bernama Hindun bintu ‘Auf
bin Zuhair bin Al-Harits.
Saudara-saudara perempuannya adalah wanita-wanita yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, para ibu shahabat yang mulia. Di antara mereka ada
Ummul Fadhl Lubabah Al-Kubra bintu Al-Harits x, istri Al-’Abbas bin
Abdul Muththalib z, ibu Abdullah bin ‘Abbas c. Juga Lubabah Ash-Shughra
bintu Al-Harits x, istri Al-Walid bin Al-Mughirah, yang melahirkan
Pedang Allah, Khalid ibnul Walid z. Demikian pula saudaranya seibu, Asma
bintu Umais x, istri Ja’far bin Abi Thalib z, kemudian sepeninggal
Ja’far z menikah dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq z, dan disusul
pernikahannya dengan ‘Ali bin Abi Thalib z setelah Abu Bakr z wafat.
Sebelum masa kedatangan Islam, Maimunah yang kala itu masih bernama
Barrah disunting oleh Mas’ud bin ‘Amr bin ‘Umair Ats-Tsaqafi. Namun
perjalanan dua insan ini tak bertahan lama, karena harus berakhir dengan
perceraian. Kemudian Maimunah menjalin ikatan pernikahan dengan Abu
Rahm bin Abdil ‘Uzza. Namun, jalinan ini pun harus terurai karena Abu
Rahm meninggal.
Maimunah pun menjalani kesendiriannya di negeri Makkah. Dia berada di
antara kaum muslimin yang menyembunyikan keimanan dalam jiwanya. Betapa
inginnya Maimunah saat itu untuk mendapatkan kemuliaan sebagai salah
satu di antara ibu-ibu kaum mukminin. Keinginannya pun terungkap di
hadapan saudarinya, Ummul Fadhl x, yang segera menyampaikan kepada
suaminya, Al-‘Abbas z.
Al-’Abbas pun menyampaikan keinginan Maimunah kepada Rasulullah r.
Dikatakan kepada Rasulullah r, “Sesungguhnya Maimunah telah menjanda.
Apakah engkau suka bila kunikahkan engkau dengannya?”
Rasulullah r menyambut keinginan itu. Dalam perjalanannya ke negeri
Makkah, Rasulullah mengutus Ja’far bin Abi Thalib z yang kala itu baru
kembali dari hijrahnya ke Habasyah bersama kaum muslimin untuk
mendahului beliau memasuki Makkah. Melalui Ja’far bin Abi Thalib z,
Rasulullah r menyampaikan pinangan beliau terhadap Maimunah x. Maimunah
pun menyerahkan urusan pernikahan ini kepada Al-‘Abbas z.
Pada tahun itu, Al-’Abbas menikahkan Maimunah x dengan Rasulullah r,
dengan mahar 500 dirham. Maimunah x akhirnya meninggalkan
kesendiriannya, memasuki gerbang rumah tangga bersama seseorang yang
teramat mulia, Rasulullah r. Dialah wanita terakhir yang memasuki
perjalanan rumah tangga Rasulullah r.
Namun, waktu berjalan begitu cepat. Setelah tiga hari berlalu, Suhail
bin ‘Amr bersama serombongan penduduk Makkah mendatangi Rasulullah r
seraya berkata, “Wahai Muhammad! Cepat keluar dari sini! Ini adalah hari
terakhir bagimu.” Mendengar ucapan itu, Rasulullah r berkata, “Biarkan
aku sejenak di sini agar aku bisa bermalam dengan istriku. Aku akan
membuat makanan untuk menjamu kalian.” Namun Suhail bin ‘Amr segera
menukas, “Tidak!”
Akhirnya Rasulullah r membawa serta Maimunah x keluar dari negeri Makkah
untuk kembali ke Madinah. Tiba di Sarf, sekitar 10 mil dari kota
Makkah, beliau pun singgah. Di sana, di tenda Maimunah, beliau bermalam
pengantin bersama Maimunah x.
Wanita mulia yang menginginkan kemuliaan. Dari kehidupan rumah
tangganya, dia menimba banyak faidah dari suami tercinta. Betapa banyak
deretan nama yang mengambil riwayat darinya, hingga tertulislah namanya
menghiasi berbagai kitab yang merangkum hadits yang mulia.
Duhai, tibalah saat wanita mulia ini harus kembali kepada Rabbnya, meninggalkan keharuman kenangan akan segenap kebaikan.
Nampak di antara orang-orang yang menshalati jenazahnya, Abdullah bin
‘Abbas c. Kala itu, Abdullah bin ‘Abbas c berpesan, “Kalau kalian
mengangkat jenazahnya, hendaknya kalian berlemah lembut dan jangan
menggoncangkannya, karena dia adalah ibu kalian.”
Dibawalah Maimunah x di atas pundak orang-orang yang mengusungnya atas
perintah Ibnu ‘Abbas c. Lalu Ibnu ‘Abbas bersama kemenakan Maimunah x
yang lain, Yazid bin Al-Asham dan Abdullah bin Syaddad, disertai
‘Ubaidullah Al-Khaulani, seorang yatim yang ada di rumah Maimunah x
masuk ke dalam kubur Maimunah untuk meletakkan jenazahnya.
Pada tahun ke-51 setelah hijrah itu, Maimunah bintu Al-Harits x
meninggalkan kaum muslimin untuk selama-lamanya. Dia dikuburkan di Sarf,
di tempat malam pengantinnya yang penuh kenangan bersama Rasulullah r.
Duhai, inilah saat berakhirnya catatan kehidupan seorang wanita mulia
yang begitu berkesan, hingga ‘Aisyah pun mengatakan, “Telah pergi
seorang yang paling takwa di antara kami, dan paling senang menyambung
hubungan kasih sayang.” Maimunah bintu Al-Harits, semoga Allah
meridhainya ….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar